TIGA PAHLAWAN BARU WARNAI HARI PAHLAWAN NASIONAL 2008

Tiga pahlawan baru dikukuhkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Jumat lalu, 7 November. Mohammad Natsir, Abdul Halim Iskandar, dan Sutomo menambah daftar nama pahlawan nasional menjadi 144. Sayang, perjuangan mereka dihargai ala kadarnya oleh pemerintah.

BANYAK kisah sedih dari keluarga pahlawan. Tidak sedikit istri maupun anak-anak pahlawan yang hidupnya serbasusah. Pemerintah sebenarnya sudah berusaha memberikan tunjangan bagi keluarga pahlawan. Hanya, nominal dalam paket tunjangan pahlawan itu masih belum bisa dikatakan layak secara finansial. Seakan-akan tak sebanding.

Hari ini tepat setahun sejak kali pertama pemerintah memberikan penghargaan kepada erhadap para pahlawan atas jasa-jasa mereka. Pada 10 November 2007, Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah menyatakan bahwa setiap bulan keluarga pahlawan dan para perintis kemerdekaan Indonesia mendapatkan bantuan dana Rp 1,5 juta per bulan. Lebih kecil daripada gaji guru dengan pangkat terendah yang di APBN 2009 dipatok Rp 2 juta per bulan.

Selain bantuan dana, pemerintah membantu perawatan kesehatan senilai Rp 3 juta per tahun. Bachtiar mengatakan, bantuan dana itu merupakan batas kemampuan pemerintah. ''Bantuan bagi pahlawan dan keluarganya itu hanya berlaku sampai seumur hidup anaknya. Sedangkan cucu tidak,'' ujar Bachtiar ketika ditemui di sela-sela acara persiapan hari pahlawan di kantornya pekan lalu. Pernyataan itu sekaligus memperkuat keterangan yang disampaikan pada peringatan Hari Pahlawan di Taman Makam Pahlawan Kalibata tahun lalu.

Jumat lalu (7/11) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali menetapkan tiga nama baru untuk melengkapi daftar pahlawan nasional menjadi 144 nama. Tiga tokoh tersebut adalah Bung Tomo, Mohammad Natsir, dan Abdul Halim Iskandar. Dengan kebijakan serupa, otomatis, ketiganya akan mendapatkan hak seperti yang sudah diatur pemerintah.

Hal tersebut dibenarkan Direktur Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial (K2KS) Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial Depsos Muchsis Malik. Menurut Muchsis, hak para pahlawan itu akan segera diberikan setelah ketiganya menerima bintang Mahaputra Adipranada yang disematkan langsung oleh presiden. Usai menerima gelar pahlawan tertinggi di Indonesia tersebut, ahli waris pahlawan akan segera meneken MoU untuk mencairkan bantuan. ''Tepat setelah disahkan maka ahli waris berhak mendapatkan tunjangan,'' terang Muchsis.

Proses mandapatkan status pahlawan memang cukup panjang dan berliku. Menurut Kasubdit Kepahlawanan Keperintisan dan Tanda Jasa Depsos Muhammad Nur Sholeh, setiap unsur masyarakat di daerah maupun instansi di bawah pemda berhak mengajukan nama pahlawan lokal. Daftar pengajuan nama pahlawan itu akan disaring di level pemda oleh elemen sejarawan lokal dan diajukan secara administratif kepada Depsos. ''Depsos hanya terlibat di level administratif. Sedangkan secara substansial akan dibahas di sidang BPPP (Badan Pembina Pahlawan Pusat, Red) yang beranggota sejarawan dan ahli,'' ujar Nur.

BPPP, lanjut dia, menggelar sidang penetapan pahlawan lima kali dalam setahun. Dalam sidang tersebut, beberapa aspek yang menentukan kelayakan seorang tokoh untuk diakui sebagai pahlawan nasional. Di antaranya, hasil penelitian tentang tokoh tersebut, riwayat perjuangan di daerah, seminar tentang tokoh tersebut, dan hasil seminar yang menyertakan aspek legal. ''Dalam beberapa kejadian, yang membuat tokoh pahlawan itu gagal diakui sidang adalah karena materi referensi yang diajukan daerah tergolong miskin fakta atau bukti-bukti baru yang membatalkan status tokoh tersebut sebagai pahlawan,'' terang dia.

Nur Sholeh lantas menggambarkan salah satu suasana sidang BPPP. Menurut dia, pernah terjadi perdebatan hingga adu argumen ilmiah sampai melibatkan data-data dan teks asli dalam bahasa Belanda dan bahkan arsip dalam tulisan Jawa. Rata-rata, jelas dia, tebal referensi untuk menentukan status pahlawan seorang tokoh mencapai ratusan halaman.

''Ada salah satu tokoh yang sudah hampir tuntas, tapi ternyata malah dibatalkan. Sebab, ternyata ditemukan data dari VOC di museum pemerintah Belanda bahwa namanya tercatat pernah bekerja sama dengan Belanda sehingga nilai patriotismenya dipertanyakan,'' jabarnya.

''Karena cukup banyak tarik ulur kepentingan dalam penetapan nama pahlawan, kami tak akan bermain-main dengan penetapan nama pahlawan,'' katanya.

Ketiga pahlawan yang kemarin dikukuhkan SBY memiliki jasa yang besar terhadap bangsa ini. Bung Tomo butuh waktu 27 tahun untuk menjadi pahlawan. Natsir, hanya membutuhkan 15 tahun. Sedangkan Abdul Halim butuh waktu 48 tahun.(tom/zul/iro) dikutip utk dok.: Alfa5


Mohammad Natsir Lahirkan Kampus Tertua di Indonesia

SALAH satu peninggalan Mohammad Natsir yang bisa dilihat saat ini adalah Universitas Islam Indonesia (UII) di Jogjakarta. Bersama Mohammad Hatta, Kahar Muzakkir, Moh. Roem, dan Wahid Hasyim, Natsir mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta pada 8 Juli 1945.

''Saat ibu kota Indonesia pindah ke Jogjakarta, STI ikut hijrah dan kemudian berganti nama menjadi UII,'' kata mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra yang merupakan murid ideologis Natsir.

Perguruan tinggi yang didirikan Natsir cs itu merupakan perguruan tinggi tertua di Indonesia. Lebih tua dari tetangganya, Universitas Gadjah Mada (UGM) yang didirikan pada 19 Desember 1949, Universitas Indonesia (UI) yang didirikan 2 Februari 1950, dan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang didirikan 2 Maret 1959.

Saat ini UII sudah berkembang besar melahirkan ribuan alumnus. Mantan pimpinan GAM Hasan Tiro merupakan alumnus pertama perguruan tinggi yang dibidani Natsir. Sejumlah pejabat publik di tanah air pun lahir dari kampus yang juga menjadi tempat lahirnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu.

Mulai Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D., Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqqodas, Ketua Komnas HAM Ifdal Kasim, Ketua LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) Abdul Haris Semendawai, serta Direktur Utama Bursa Berjangka Jakarta Hazan Zein Mahmud.

Rektor UII Edy Suandi Hamid menyatakan, UII paling bergembira atas penganugerahan gelar pahlawan bagi Natsir. ''Kampus ini lahir, salah satunya, karena keinginan kuat M. Natsir untuk memajukan pendidikan di Indonesia,'' ujarnya.

Dalam hidupnya, Natsir juga dikenal sebagai sosok yang sederhana. Putri sulung Natsir, Siti Muchliesah, mengisahkan, pada 1956 ada seseorang yang mengantar mobil Chevrolet Impala untuk ayahnya. Saat itu mantan perdana menteri tersebut hanya punya mobil pribadi bermerek DeSoto yang sudah kusam.

Oleh Natsir, mobil itu ditolak. Kepada anak-anaknya, Natsir selalu berpesan agar mencukupkan yang ada dan tidak mencari yang tidak ada.(tom/zul) dikutip utk dok.: Alfa5